KUMPULAN CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI”
KARYA A.A. NAVIS: ANALISIS
POSTKOLONIALISME
A.
Pendahuluan
Karya
sastra merupakan hasil tulisan seseorang yang berawal dari pengalaman
penulisnya dan merupakan ungkapan rasa serta pikiran penulis. Gabungan dari
kenyataan, hayalan, bahkan mitos yang telah dialami oleh penulis. Sebuah karya
yang hebat pasti akan melalui proses yang panjang dalam menemukan ide-ide,
serta mendalami terhadap tema yang akan dituliskan. Mungkin proses menulisnya
tidak akan terlalu lama, tetapi proses penemuan dan pencarian hal yang berbeda
inilah yang membutuhkan waktu yang panjang. Selain itu, yang menerangi
kehidupan sastra selama ini juga dipengaruhi oleh kehidupan politik setiap
kelompok. Hal ini mungkin juga terjadi didunia selain sastra, bahkan di-kehidupan
pun juga terpengaruhi oleh politik. Itu semua yang diinginkan seseorang untuk
menjadi yang terbaik selain keuntungan yang dinginkannya.
Menjadikan
pandangan buat kita, [1]ketika
ada orang yang mengatakan “untuk apa sebenarnya nama-nama itu?”, dalam sastra
misalnya apa yang melatar belakangi seseorang mengatakan bahwa ada sastra
murni dan ada sastra populer, seperti apa sastra murni? dan seperti apa sastra
populer itu? Nama atau label seperti itu dimungkinkan untuk mendongkrak suatu hal, untuk bisa dikenal oleh masyarakat.
Kesastraan sebuah karya pun ikut dipertanyakan jika tidak sesuai dengan
kategori yang telah ditentukan sebelumnya. Ada juga yang mengatakan suatu karya
sastra harus memiliki bahasa yang tinggi. Sehingga karya sastra yang bahasanya
mudah dipahami, masih diragukan kesastraannya dan menjadi perdebatan dikalangan
sastrawan.
Salah
satu genre sastra adalah cerita pendek (cerpen). Pada dasarnya cerpen zaman dahulu
dan cerpen zaman sekarang memiliki karakter yang sama. Seperti cerpen tertua dan asli yang ditulis jauh
sebelum Dogdog Pengrewong (1930), memiliki kualitas yang sama dengan cerpen
masa kini. Ada unsur-unsur karakter protagonis dan antagonis, ada tema yang
jelas dan suasana cerita yang hidup. Penuturannya ringkas, langsung dan
mengandung kepadatan, meskipun lukisan suasana hari agak kepanjangan juga pada
awal cerita. Namun secara keseluruhan cerpen ini telah memenuhi syarat sebagai
cerpen yang modern dengan gaya realistis, (Sumardjo, 2004:112-113).
Sastra
memiliki keterkaitan antara kehidupan sebenarnya dan kehidupan dalam cerita.
Berbagai macam cerita yang dihasilkan penulis, salah satunya ada cerita dimana
seorang tokoh yang dikuasai atau yang terjajah, keadaan psikologi tokoh setelah
dikuasai, dan sebagainya. Karya yang seperti itu merupakan kajian postkolonialisme, yang juga disebut pasca kolonialisme. [2]Tema-tema
yang dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan,
diantaranya; politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi,
kesenian etnisitas, bahasa dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di
lapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan
bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.
Kumpulan
cerpen yang diawali dari cerpen yang berjudul Robohnya surau kami sesuai judul
dari kumpulan cerpennya juga. Kritik kehidupan yang dilontarkan kepada
masyarakat Indonesia agar menjadi manusia yang berguna bagi Tuhannya maupun
bagi sesamanya. Hablumminallah dan hablumminannas-nya berjalan bersamaan.
Tidak ada yang diutamakan ataupun yang dianak tirikan, keduanya harus berjalan
bersamaan. Mereka diliputi kehinaan
dimana saja mereka berada, kecuali dengan hablumminallah dan hablumminannas,
(Q.S al-‘Imron: 112). [3]Mereka
yang dimaksud bukanlah kaum muslim namun ahli
kitab [4](sebutan
dalam Al-Qur'an
untuk kaum beragama Nasrani (Kristen) dan Yahudi. Dinamakan demikian karena pada keduanya menurut ajaran
Islam, Allah menurunkan Kitab Taurat melalui Nabi Musa dan Injil melalui Nabi Isa).
B.
Pengertian
Postkolonialisme
Post
yang berarti setelah, disebut juga pasca. [5]Koloni artinya tempat yang dikuasai
negara lain. [6]Postkolonialisme merupakan paham setelah
penguasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu daerah, pengakhiran
jajahan dalam suatu daerah.
Teori Postkolonialisme
Secara
etimologi, kolonialisme menurut Oxford English Dicionary (OED), berasal dari
bahasa Romawi “colonia” yang berarti “tanah pertanian” atau “pemukiman” dan
mengacu kepada orang Romawi yang bermukim di negeri-negeri lain tetapi masih
mempertahankan kewarganegaraan mereka, (Suryawan, 2010: 64-65). Pada intinya,
kolonialisme merupakan pemukiman dimana bangsa lain melakukan hal dinegara itu
dengan tujuan tertentu namun tetap mempertahankan kewarganegaraannya. Yang
kemudian mereka membentuk suatu kelompok untuk mencapai tujuan itu, tujuan
dimaksudkan berupa tindakan yang menghasilkan keuntungan bagi bangsanya dengan
subjek orang-orang pribumi itu. Dengan demikian, kolonialisme bisa
didefinisikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda
rakyat lain, (Loomba, 2003: 1-3)[7].
Tentunya
sistem kolonialisme zaman dahulu dan kolonialisme zaman modern itu berbeda.
Kolonialisme zaman modern ditandai dengan adanya; a) daerah koloni tidak hanya
membayar upeti, namun struktur perekonomian mereka juga dirubah untuk
kepentingan negara induk. b) masyarakat daerah koloni menjadi konsumtif, karena
wilayah mereka diubah menjadi pasar, dan mengonsumsi produk negara induk. Dalam
kolonialisme modern ini, keuntungan akan selalu mengalir pada negara induk.
Sehingga dalam sistem ekonomi yang seperti inilah menjadikan kapitalisme dan
industri Eropa berkembang di daerah koloni, (Sutrisno dan Putranto, ed, 2004:
9-10).
Kolonialisme
modern ini, bukan hanya sekedar ilustrasi historis, namun merupakan satu bentuk
titik awal historis yang krusial dimana kekuasaan mengubah segalanya, (Gandi
2001: 20-21). Dan mengakibatkan masyarakat daerah koloni kehilangan akan
prinsip hidup daerahnya, kebudayaan, serta kebiasaannya. Untuk masyarakat yang
mampu mengatasinya dan siap dalam segala rintangan yang ada maka tidak akan ada
masalah dalam psikologi atau kondisi kejiwaan mereka, dibandingkan orang-orang
yang belum siap dan menjadi tertekan. Hal itu, akan terjadi terutama pada
kondisi kejiwaan si anak yang belum bisa berpikir sejauh itu.
Istilah
postkolonialisme kurang tepat seharusnya, terutama untuk negara kita. Negara
ini masih dijajah oleh Negara lain, bahkan masyarakat kita tidak menyadari akan
hal itu. Mungkin saya juga tergolong salah satu orangnya, dimana tidak, apakah
kita sadar sesungguhnya kita hidup dilingkungan kita saja terkadang malu dalam
menggunakan bahasa ibu kita, kita juga sering minder jika teman kita menggunnakan bahasa asing dalam
berkomunikasi, selain itu kita akan menjadi bangga jika pasangan kita berasal
dari orang-orang negara lain itu. Ini masih hal kecil bagian dari jajahan
Negara lain kepada masyarakat kita. Sehingga sebuah kritik lainnya terhadap
teori postkolonialisme adalah perspektif yang menhubungkan semua kondisi yang
ada pada masa pascakolonial sebagai akibat dari sejarah kolonialis.
Studi
postkolonialisme bukanlah mempersoalkan “apa yang terjadi dalam sejarah
kolonialisme”. Akan tetapi lebih fokus pada apa yang terjadi setelah adanya
penguasa kolonialisme keluar dari bumi pertiwi, dan apa yang terjadi kemudian
dalam era prakolonialisme. Kolonialisme tidak hadir dengan sendirinya, tetapi
ada yang dihadirkan. Masa lalu bisa berarti jika ada yang membutuhkannya,
ketika ada yang berkepentingan dengannya, misalnya kekuatan “masa kini”
kolonialisme, maka ia pun diciptakannya. “Diciptakan” adalah bahasa lain dari
“memberi tafsiran dan makna baru, sekaligus kuasa dan otoritas baru pula”,
(Baso, 2005: 48-49)[8].
Model
berpikir teori postkolonial (untuk membongkar praktik orientalis dan kolonial)
sering disebut sebagai model berpikir dualis. Pada teori postkolonial ada
beberapa istilah atau konsep yang sering dikontraskan satu dengan yang lain,
misalnya Timur (Orientalisme) versus Barat
(Oksidentalisme), penjajah versus terjajah,
self versus the other, pengamat versus yang diamati, kesamaan versus perbedaan, atau objektivitas versus subjektivitas. Pada oposisi biner
ini menempatkan kedudukan Barat yang lebih unggul dibandingkan dengan kedudukan
Timur. Dalam pandangan orang Barat modern ada identitas mereka yang berbeda
dari identitas orang Timur yang dilihat irasional, emosional, kekanak-kanakan,
jahat, dan lain-lain, (Lubis, 2006: 207-209)[9].
Berbeda
lagi yang dilakukan Pamella Alen (2004) yang memfokuskan pada dua penanda
postkolonialisme dalam mengkaji sebuah karya sastra, yakni tempat dan
pemindahan, dan dekonstruksi sejarah nasional. Pembacaan pascakolonial
menggunakan tuntutan Brydon bahwa kritik kolonial seharusnya dipahami sebagai
suatu upaya untuk mengungkapkan aspek-aspek dari suatu teks yang sampai
sekarang mungkin tetap tersembunyi dan yang mungkin tidak sengaja dimasukkan
oleh pengarangnya.
[10]Yang
kamudian saya juga menemukan, adanya kupasan menarik oleh Dr. Roeslan Abdulgani
tentang pancasila yang sangat berwatak anti kolonialisme. Sedangkan perlakuan
terhadap masyarakat sekarang ini jelas-jelas mirip dengan tindakan kolonialisme
dulu. Jadi yang anti kolonialisme itu siapa? Karena logikanya: PANCASILA = ANTI
KOLONIAL; berarti KOLONIAL = ANTI-PANCASILA Gamblang sekali bukan?
Untuk
memahami kolonialisme itu, mari kita simak lagi tulisan Dr. Ruslan Abdulgani
tentang hakekat kolonialisme itu adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk
menaklukkan bangsa lainnya di bidang politik sosial-ekonomi dan kebudayaan
dengan jalan:
a.
Dominasi
politik,
Keseluruhan
hal yang mengenai pemerintahan selalu didominasi oleh pihak-pihak tertentu yang
memiliki tujuan tentunya. Bahkan dalam hal pemilu saja pegawai negeri dan
masyarakat umum terintimidasi dalam pemilu semu. Hal itu juga terjadi ketika
pemilihan DPR/MPR yang kita hanya bisa melihat dengan ketidakberdayaan.
Seperti
kumpulan cerpen robohnya surau kami ini, dalam pemilihan judul kumcernya. Jika
dilihat dari judul cerpen lainnya yang paling menarik minat baca seseorang
adalah cerpen robohnya surau kami, karena dari judul itu pembeli maupun pembaca
akan memikirkan; bagaimana ceritanya? Sebuah hal yang menarik jika suatu surau
yang telah roboh, apakah akibat bencana atau itu merupakan kiasan betapa kita
sebagai umat sudah tidak tahu lagi apa yang harus kita lakukan di dunia ini.
Sehingga kita akan menjadi umat yang dicintai oleh Tuhannya, makhluk yang
membuktikan kepada makhluk hidup lain sesungguhnya manusia memiliki akal dan
hati. Sekarang ini, hal itu sulit didapatkan, karena kita hanya memikirkan diri
kita dan kedudukan kita dimasyarakat agar dipandang baik. Namun tidak melihat
dikanan-kiri kita masih banyak orang-orang yang belum beruntung seperti kita
ini.
b.
Eksploitasi
ekonomi,
Hal
ini sampai sekarang terus berkembang dimasyarakat. Dimana yang kaya selalu
memiliki hak untuk menyuruh-nyuruh tanpa memberikan pegawai untuk berbicara dan
mengambil hak mereka. Petani atau buruh petani pun akan selalu menderita dan
akan selamanya miskin (tidak tercukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup) sangat
berbeda dengan para tengkulak maupun bos-bos yang ada diatas sana.
Pada
cerpen “pada pembotakan terakhir”, digambarkan oleh gadis kecil Maria yang
selalu menjajahkan jajan Mak Pasah dan jika jajan itu tidak terjual habis atau
jika Maria lalai dalam tugasnya ia akan disiksa olehnya. Diapun tidak
mendapatkan haknya sebagai anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan serta
bermain dengan teman sebayanya. Dalam hidupnya Maria tidak mendapatkan
kehidupan selayaknya anak kecil, sampai ia meninggal karena disiksa Mak Pasah
yang kejam. Tanpa bersalah malah Mak Pasah mengangkat anak baru untuk
menjajakan kuenya.
c.
Penetrasi
kebudayaan,
Sesungguhnya
bangsa kita bukanlah bangsa yang cemen,
yang hanya mementingkan kekayaan dan kedudukan. Bangsa kita bukanlah bangsa
yang takut, kita memiliki orang-orang yang pemberani, lugas tanpa tendang
aling-aling. Itu hanyalah omongan orang-orang yang iri terhadap bangsa kita
yang memiliki segalanya dan telah diberikan kekayaan yang luar biasa oleh
Tuhan. [11]Kita
ini telah dicekoki falsafah yang seolah sangat luhur: ‘Jer basuki mawa bea’, tiap pembangunan perlu pengorbanan. Hal itu
merupakan budaya kolonial yang dilestarikan oleh penguasa karena memang
menunjang status quo-nya.
Hal
ini terjadi pada cerpen “anak kebanggaan”, dimana seorang ayah yang
membanggakan anaknya dan mengharapkan sebuah pangkat yang tinggi kepada
anaknya. Dia selalu menghayalkan jika anaknya menjadi sosok yang bisa membantu
tetangganya. Misalnya jika ada orang membangun sebuah gedung maka ia pun
berpikir, “andai saja anakku yang menjadi arsiteknya pasti bangunan ini akan
bagus dan kuat”, dan “jika seseorang yang meninggal karena sakit sehingga ia
juga berpikir andai saja anakku sudah sarjana kedokteran pasti ia akan
terselamatkan”.
Seorang
ayah yang belum mengerti kondisi anaknya dan menginginkan anaknya menjadi sosok
yang lebih baik dan terpandang sehingga membuat anak berbohong, sebaliknya
karena ingin anaknya bahagia dan bangga akan dirinya membuat ayah juga
melakukan kebohongan. Dari salah satu cerpen ini, telah menyadarkan kepada kita
akan sebuah kejujuran, dan kebanggaan apa yang telah kita dapatkan selama ini
tanpa mendengarkan perkataan orang lain selagi kita tidak merugikan orang lain.
Buat apa memiliki kondisi yang baik dan membuat orang menyanjung kita, yang
berujung pada kebohongan belaka. Tidak akan memberi citra yang baik malah
sebaliknya kita memberikan nama yang buruk kepada nama atau keluarga kita
sendiri.
C.
Analisa
tentang Cover Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami
[12]Pertama
kali diterbitkan, cover dengan ilustrasi seorang
laki-laki memegang senjata dan dibelakangnya ada ukiran khas daerah. dahulu).
Dengan warna abu-abu (kelabu) yang menggambarkan masa-masa silam sekitar tahun
1980-an. Selain warna abu-abu juga menunjukkan kebebasan dan memiliki
kecenderungan netral.
Cover
ini mungkin cetakan berikutnya, dimana saya kurang memahami akan ilustrasi yang
diberikan pada cover ini.
Ini
terbitan kedua belas [13]tahun
2006. Dengan warna cover putih yang identik dengan kesucian yang mewakili surau
pada cerita. Dan gambar seperti rumah dengan bayangan berwarna abu-abu.
Terbitan
keenam belas tahun 2010. Dengan ilustrasi surau serta hiasan tanaman yang
menunjukkan keindahan.
Dari
keempat cover kumpulan cerpen robohnya surau kami ini, menunnjukkan kepada
pembaca akan sebuah kehidupan yang tak selamanya sama. Perubahan pasti terjadi,
menjadi lebih baik, tetap, atau bahkan menurun. Suatu hal yang pasti, untuk
selalu berpikir yang baik, yakin bisa mencapai yang kita inginkan, menolong
kepada sesama (peduli), itu juga bagian dari ibadah kepada-Nya. Sebuah
pengorbanan yang kita hadapi dengan keikhlasan dan kesabaran maka tidak akan
ada yang sulit dan memberatkan hidup ini. Sebaliknya, kecerobohan dan sikap
ragu-ragu itu akan mempersulit jalan kita menuju kebaikan.
Ke-eksotisan
cerita ini, dari pengungkapan cerita yang diberikan. Berbagai kritik akan
kehidupan yang sekarang ini, dan ketidak sadaran kita dalam menjaga kepemilikan
kita. Cerita yang sudah akrab ditelinga kita dan banyak kita jumpai. Setelah
membaca karya ini, menyadari akan kejadian-kejadian yang saya alami selama
dibangku perkuliahan ini. Suatu hal yang menakjubkan, dimana kuasa ada
dimana-mana dan bahkan dimata kita pun ada.
Apa
yang kita lakukan sesuai dengan apa kata orangtua, tidak berani membantah. Jika
membantah “ga’ ilok” (tidak baik,
yang berakibat dosa karena telah membantah perintah orangtua) sering muncul
ditelinga kita. Ketika didunia baru, kita akan mendapatkan suatu wejangan dari berbagai pihak. Dan pasti
secara tidak langsung dan tidak kita sadari hal itu akan kita lakukan, kita
baru menyadari setelah kita sharing dengan teman-teman. Itu semua terjadi
karena adanya tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak tersebut.
D.
Analisa
Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami
Kumpulan
cerpen robohnya surau kami memberikan pandangan akan kehidupan yang penuh
dengan peristiwa yang harus kita hadapi. Berbagai rintangan dari segi manapun
harus kita hadapi dengan keyakinan selagi kebenaran itu kita pegang, pada diri
kita masing-masing. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mengkaji
kumpulan cerpen karya A.A Navis ini. Selain itu relasi kuasa dan tema lainnya
dihadirkan, sehingga terlihat dalam setiap cerpen yang ada, diantaranya:
1)
Robohnya surau kami; seorang kakek dengan keyakinannya,
karena sudah tua ia memilih untuk beribadah dan tidak memikirkan yang lainnya.
Dan diakhir cerita keimanan kakek pun hancur dikarenakan mengakhiri hidupnya
dengan pencukur setelah mendengarkan cerita Ajo Sidi. Seorang tua yang
seharusnya sudah tahu akan hal itu, karena pengalamannya yang sudah banyak
(sudah makan asam garam) namun begitu jatuh setelah mendengar hal itu dari
seorang pemuda tentang kehidupan seseorang yang telah diletakkan di neraka
kemudian mengadakan dialog dengan Tuhan.
2)
Anak kebanggaan; keinginan seorang ayah yang terlalu
besar tanpa memperhatikan kemampuan anaknya sehingga kebohongan diantara
keduanya pun terjadi, dan ayahnya meninggal dengan menciumi telegram dari sang
anak. Disini menandakan kehidupan kita saat ini yang hanya mementingkan
kedudukan dan pandangan oranglain terhadap kita, tanpa memikirkan dampaknya.
Kehidupan yang sederhana, dengan kecerdasan dan pemikiran yang mantang serta
tindakan yang tidak gegabah dan sesuai dengan apa yang ada pada bangsa kita
(kebudayaan kita sendiri) inilah yang membuat kita disenangi orang dan
dihormati orang, tanpa kita memperlihatkan siapa kita sebenarnya.
3)
Nasihat-nasihat; seorang tokoh perempuan pengikat hati
laki-laki (Hasibuan), setelah bertemu di bus perempuan itu tidak mau
meninggalkan Hasibuan sehingga Hasibuan menitipkannya dirumah kenalannya.
Sampai keluarga si perempuan itu mengunjungi keduanya dan meminta Hasibuan
untuk menikahi anaknya itu. Tanpa meminta pertimbangan dengan orangtuanya
Hasibuan menyetujui hal itu, ternyata Hasibuan diam-diam menyukai perempuan
itu. Berakibat, ketersinggungan orangtua yang merasa dilangkahi oleh Hasibuan
dan tidak berkata apapun orangtua itu langsung masuk kamar.
Dalam hal ini, kejujuran itu menjadi
penting dan harus ditanamkan pada diri sendiri, karena sesungguhnya itu
menyangkut kehidupan bukan hanya saat itu namun seterusnya. Sebagai anak kita
juga harus menyadari hak dan kewajiban orangtua terhadap anaknya. jangan hanya
mengandalkan simpati sendiri sehingga melupakan dan tidak meminta nasihat
kepada orangtua dan baru meminta itu ketika kalian telah melakukan hal itu.
Sungguh kalau itu terjadi maka kecewa dan penyesalan akan datang bersama
kalian.
4)
Topi Helm; sebuah topi yang dianggap pemiliknya sebagai
pelindung sehingga ia selalu menjaga topi helm tersebut. Topi itu selalu
melindunginya dari panas, hujan, dan terpaan angin yang mengenai kepalanya.
Suatu ketika masinis kereta digerbong itu marah karena sang pemilik topi (Pak
Kari) rela melompat dan meninggalkan gerbong, karena topi helmnya terbang
dibawa angin. Padahal pantangan untuk tukang rem meninggalkan gerbong kereta.
Peraturan yang dibuat sesungguhnya
memang untuk dipatuhi agar tidak terjadi pelanggaran dan keburukan disuatu
wilayah. Namun sebuah peraturan seharusnya tidak dibuat sendiri dan tidak ada tujuan
pribadi didalamnya. Apakah hanya karena meninggalkan gerbong kita harus
berakhir dengan sebuah kematian? Sungguh mereka itu hanya berpikir keuntungan
mereka saja, dan tidak berpikir akan kesusahan oranglain.
5)
Datangnya dan perginya; pengorbanan yang dilakukan
orangtua meskipun berakibat dosa demi kebahagiaan anaknya mereka rela. Sang
ayah yang merasa bersalah karena telah merenggut kebahagiaan dimasa kecilnya
dengan mengusir anaknya sendiri sehingga mau melakukan itu, yang awalnya ia
tidak mau karena dosa. Namun mantan istrinya tetap mempertahankan rahasia itu
karena tidak mau anaknya sedih dan memiliki nasib yang sama dengannya, sehingga
ayah pun juga melakukan kebohongan itu.
Tidak akan ada sesuatu yang kekal untuk
menjadi milik kita, bahkan kemungkinan sesuatu itu tidak akan pernah menjadi
milik kita meskipun kita menyukai dan mengagumi hal itu. Namun kepastian yang
terjadi adalah pasti ada hal yang lebih baik yang akan datang nantinya.
6)
Pada pembotakan terakhir; seorang anak yang setiap tahunnya
harus dibotak rambutnya untuk menghilangkan nasib jelek. Dan seorang gadis
kecil yang direnggut masa kecilnya oleh Mak Pasah serta tidak mendapat
pendidikan semestinya anak-anak yang lain. Ia bahkan mendapatkan cacian dan
siksaan jika tidak mematuhi perintah Mak Pasah. Tokoh aku yang mendapat
keyakinan dari ibunya, agar dia tidak menjadi anak nakal supaya ibunya tidak
meninggal dan ia tidak mendapat ibu tiri kemudian disiksa seperti gadis kecil
itu (Maria namanya). Sedangkan, Maria yang harus menuruti semua perintah Mak
Pasah, jika lalai dan lengah terhadap tugasnya ia akan mendapat cacian dan
siksaan oleh Mak Pasah, hingga ia meninggal karena siksaan Mak Pasah.
Setiap orang memiliki hak yang tidak
harus dikekang oranglain termasuk orangtua kita. Kebiasaan yang berdampak baik
maka lakukan kalau tidak jangan dijalankan. Kita boleh membela diri dan meminta
hak kita pada orangtua namun juga ada batasnya, misalnya cara kita
berkomunikasi dengan orangtua, hal ini merupakan hal yang sederhana
kelihatannya tetapi tidak pada prakteknya. Sebagai orangtua juga seharusnya
tahu hak dan kewajiban anaknya, meskipun orangtua angkat. Jangan hanya kerena
bukan anak kandung sehingga diacuhkan. Jika ada niatan untuk mengangkat anak,
lakukan dengan baik, didik dan bekali kebaikan kepadanya. Sungguh kebahagiaan
akan datang melalui dia juga.
7)
Angin dari gunung; teman kecil, yang berjumpa kembali
dibukit gunung dengan mengingat masa kecilnya, kemudian si perempuan bercerita
tentang pengalamannya selama menjadi prajurit saat perang. Keantusiasannya
dalam menolong dan membuat korban-korban perang itu bahagia, sehingga ia
berpikir untuk memiliki tangan sebanyak jumlah jari. Namun ia sadar bahwa
sesuatu tidak akan kekal, pasti akan mengalami kesudahan.
8)
Menanti kelahiran; keyakinan yang dilakukan oleh
masyarakat selama ini telah melekat dipikiran Lena. ia tak mau memiliki anak
yang tidak lahir sempurna, sehingga ia pun terpaksa melakukan hal-hal yang bisa
menjauhkannya dari suatu keburukan. Namun Lena juga tidak hati-hati, ia tidak
berpikir ulang ketika kejadian yang telah dialami sebelumnya. Ia pun tertipu
kembali semua perhiasannya habis diambil pembantunya. Kita tidak harus berpikir
buruk pada setiap orang tetapi sikap hati-hati perlu kita tanamkan. Tidak semua
orang memiliki hati yang baik dan peduli kepada kita, untuk itu kita harus
pintar dalam bergaul.
Menolong itu diharuskan, karena pada
hakikatnya kita adalah makhluk sosial yang tidak akan lepas dari pertolongan
orang lain. Namun perlu sikap hati-hati dalam hal ini, tidak semua orang
memiliki sikap yang baik dan sebaliknya tidak semua orang memiliki sikap yang
buruk. Semua hal yang kita lakukan berdasarkan keadaan saat ini, namun tidak
lantas kita bersikap merugikan orang lain meskipun disaat kita kekurangan.
9)
Penolong; Sidin, tokoh penolong dalam sebuah peristiwa
kecelakaan kereta. Ia menolong korban tanpa melihat siapa korban yang
ditolongnya itu. Kegigihannya sebagai penolong pada peristiwa itu membuat ia
dianggap gila ketika mulai menyesal tidak bisa menolong gadis kecil, sehingga
gadis itu dipotong kakinya oleh orang gila.
Hidup sudah membolak-balikkan pikiran.
Sesuatu yang baik dianggap aneh, dan sesuatu yang buruk dianggap baik sehingga
tidak ada tindakan untuk menyikapi keburukan itu. Hal inilah, yang membuat orang
lebih memilih melakukan keburukan yang sudah ia ketahui namun tanpa merasa
bersalah dan dengan tawanya ia merasa bangga dengan hasil yang ia peroleh
meskipun itu merugikan orang lain.
10)
Dari masa ke masa; kesuksesan seseorang tidak mungkin
didapatkannya sendiri, pasti ada orang lain dibelakangnya. Kesuksesan seseorang
berkat orang lain ini, biasanya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Nasihat
orang tua itu sangat penting, yang menjadi keharusan dalam melakukan sesuatu.
Nasihat ini bukanlah sekedar nasihat, namun juga bagian dari meminta izin agar
dikemudian hari tidak terjadi kesalahan. Dalam cerita ini, pendongkol yang
selalu berpikir bahwa buat apa kita harus meminta nasihat para tetua. Terkadang
hal-hal yang tidak penting pun disampaikan dan kenapa itu tidak terjadi pada
orang-orang yang ikut perang.
Disinilah politik kuasa dimanfaatkan
oleh para penguasa. Memerintah seenaknya bahkan tidak pernah berpikir kerugian
apa yang akan didapatkan anggotanya. Bahkan sekarang ini tidak hanya terjadi
didunia organisasi maupun pemerintah, namun juga pekerjaan, kelas, lingkungan,
dan lain-lain. Sehingga semua orang memperebutkan kedudukan yang dianggap
terpandang. Kesalahan kita sebagai rakyat kecil yang hanya bisa mengelus dada
dan tidak berani mengutarakannya. Membuat para pembesar meraja lela, sekali ada
yang berani namun dengan diberi suapan uang ia akan diam. Itulah moral
masyarakat kita sekarang ini, yang perlu diperbaiki.
KESIMPULAN
Sebuah
karya sastra akan menjadi motivator buat pembacanya, dan pembaca akan memiliki
pemikiran terhadap amanah yang diberikan. Kumpulan cerpen A.A Navis memberikan
pandangan hidup kepada pembaca termasuk saya. Kritik kehidupan akan keadaan
kita selama ini sebagai penduduk negara ini. Dengan kesederhanaan cerita yang
diberikan namun memberi kedalaman makna yang akan didapatkan. Pernahkah kita
berpikir, setelah kita dilahirkan sampai saat ini menginjak dewasa, pernahkah
kita melakukan hal yang bermanfaat untuk orang lain dengan tidak melupakan
kewajiban sebagai umat atau sebaliknya. Bentuk kemanusiaan, yang juga disebut hablumminannas kita sekarang ini amat
salah, misalnya dalam kuliah ketika masuk kelas maupun ujian. Ketika masuk
kelas, jika teman kita minta absen (TA) pasti kita meng-iya-kan permintaan
tolongnya, karena dikala kita butuh TA nanti pasti mereka juga
mempertimbangkannya. Dan yang membuat anak-anak saat ini malas untuk belajar
adalah ia akan berpikir bahwa ia ada teman yang akan membantunya, sikap menggantungkan
ini yang akan menjerumuskan. Itu adalah hal besar jika kita nyontek, ngrepek, dan memberikan contekan kepada teman, seharusnya bukan
seperti itu akan tetapi dengan kita belajar sebelum hari ujian jika ada yang
kurang mengerti, buatlah kelompok diskusi dengan teman-teman atau dengan
bertanya kepada dosen.
Dari
sepuluh cerpen yang ada juga menggambarkan keadaan bangsa ini. Dimana hak
masyarakat yang tidak pernah terlaksana, serta kewajiban mereka yang juga
kurang dijalankan. Mereka dikungkung
oleh keyakinan, kebiasaan (adat), orangtua, tanggungjawab, dan simpati. Karena
mereka mengharapkan penghormatan dan pengakuan semata dari oranglain dan yang
utama dari Tuhan Yang Maha Esa. Pemikiran kita yang hanya menginginkan suatu
yang instan dan membuat kita mau melakukan apapun untuk mendapatkan itu. Rasa
tidak memiliki pada diri kita membuat kita enggan
menjaga dan merawatnya. Robohnya surau kami, kumpulan cerpen yang telah
memberikan kesadaran kepada kita sebagai masyarakat dan sekaligus sebagai umat
yang seharusnya intropeksi diri akan apa yang telah dilakukan selama hidup ini.
DAFTAR PUSTAKA
Allen,
Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]interpretasi Fiksi Indonesia
1980-1995. Magelang: Indonesia Tera.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahli_Kitab,
(diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
Asin.
2012. Hablumminallah wa hablumminannas mengaji bersama ustadz kerah sakti.
(online), http://myaasin.wordpress.com/2009/09/30/hablumminallah-wa-hablumminannas-mengaji-bersama-ustadz-kerah-sakti/,
(diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
http://sudahkahkaubaca.multiply.com/journal/item/24/Membaca-Kegelisahan-A.A.-Navis,
(diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
id.wikipedia.org/wiki/Koloni, (diakses
pada tanggal 18 Juni 2012).
Navis,
A.A. 2010. Robohnya Surau Kami.
Jakarta: Gramedia, (Cetakan pertama 1986).
Nyoman
Kutha Ratna.2008. “Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra”. Pustaka
Pelajar. Peresensi: M. Nurul Ikhsan, (http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=Popular&topik=10&id=145,
diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
Purba,
Arnold. 2003. Biarkan Rakyat Bicara: Tangan Besi Merampas Tanah Kami. Jakarta:
Yayasan 5 Agustus.
Sumardjo,
Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.
Suryawan,
I Ngurah. 2010. Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali
Utara. Jakarta: Kencana.
[1]
Diskusi mata pelajaran Etika dan Estetika. Sastra Indonesia. Semester Genap.
2012. 15 Juni 2012.
[2] Nyoman Kutha Ratna.2008.
“Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra”. Pustaka Pelajar. Peresensi: M.
Nurul Ikhsan, (http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=Popular&topik=10&id=145,
diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
[3] http://myaasin.wordpress.com/2009/09/30/hablumminallah-wa-hablumminannas-mengaji-bersama-ustadz-kerah-sakti/.
[4]
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahli_Kitab.
[5]
id.wikipedia.org/wiki/Koloni.
[6]
PPT yang disampaikan oleh dosen pada mata kuliah teori sastra II materi
postkolonialisme.
[7] Suryawan, I Ngurah.
“Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern-Bara di Bali Utara” (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010). halaman 65.
[8] Suryawan, I Ngurah.
“Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern-Bara di Bali Utara” (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010). halaman 72-73.
[9] Suryawan, I Ngurah.
“Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern-Bara di Bali Utara” (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010). halaman 73.
[10] Purba, Arnold. “Biarkan
Rakyat Bicara: Tangan Besi Merampas Tanah Kami”. (Jakarta: Yayasan 5 Agustus,
2003). halaman 14-17.
[11] Purba, Arnold. “Biarkan
Rakyat Bicara: Tangan Besi Merampas Tanah Kami”. (Jakarta: Yayasan 5 Agustus,
2003). halaman 16-17.
[12]
http://sudahkahkaubaca.multiply.com/journal/item/24/Membaca-Kegelisahan-A.A.-Navis
[13]
http://sudahkahkaubaca.multiply.com/journal/item/24/Membaca-Kegelisahan-A.A.-Navis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar