Minggu, 12 Agustus 2012



KUMPULAN CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI”
KARYA A.A. NAVIS: ANALISIS POSTKOLONIALISME

A.      Pendahuluan
Karya sastra merupakan hasil tulisan seseorang yang berawal dari pengalaman penulisnya dan merupakan ungkapan rasa serta pikiran penulis. Gabungan dari kenyataan, hayalan, bahkan mitos yang telah dialami oleh penulis. Sebuah karya yang hebat pasti akan melalui proses yang panjang dalam menemukan ide-ide, serta mendalami terhadap tema yang akan dituliskan. Mungkin proses menulisnya tidak akan terlalu lama, tetapi proses penemuan dan pencarian hal yang berbeda inilah yang membutuhkan waktu yang panjang. Selain itu, yang menerangi kehidupan sastra selama ini juga dipengaruhi oleh kehidupan politik setiap kelompok. Hal ini mungkin juga terjadi didunia selain sastra, bahkan di-kehidupan pun juga terpengaruhi oleh politik. Itu semua yang diinginkan seseorang untuk menjadi yang terbaik selain keuntungan yang dinginkannya.
Menjadikan pandangan buat kita, [1]ketika ada orang yang mengatakan “untuk apa sebenarnya nama-nama itu?”, dalam sastra misalnya apa yang melatar belakangi seseorang mengatakan bahwa ada sastra murni dan ada sastra populer, seperti apa sastra murni? dan seperti apa sastra populer itu? Nama atau label seperti itu  dimungkinkan untuk mendongkrak suatu hal, untuk bisa dikenal oleh masyarakat. Kesastraan sebuah karya pun ikut dipertanyakan jika tidak sesuai dengan kategori yang telah ditentukan sebelumnya. Ada juga yang mengatakan suatu karya sastra harus memiliki bahasa yang tinggi. Sehingga karya sastra yang bahasanya mudah dipahami, masih diragukan kesastraannya dan menjadi perdebatan dikalangan sastrawan.
Salah satu genre sastra adalah cerita pendek (cerpen). Pada dasarnya cerpen zaman dahulu dan cerpen zaman sekarang memiliki karakter yang sama. Seperti cerpen tertua dan asli yang ditulis jauh sebelum Dogdog Pengrewong (1930), memiliki kualitas yang sama dengan cerpen masa kini. Ada unsur-unsur karakter protagonis dan antagonis, ada tema yang jelas dan suasana cerita yang hidup. Penuturannya ringkas, langsung dan mengandung kepadatan, meskipun lukisan suasana hari agak kepanjangan juga pada awal cerita. Namun secara keseluruhan cerpen ini telah memenuhi syarat sebagai cerpen yang modern dengan gaya realistis, (Sumardjo, 2004:112-113).
Sastra memiliki keterkaitan antara kehidupan sebenarnya dan kehidupan dalam cerita. Berbagai macam cerita yang dihasilkan penulis, salah satunya ada cerita dimana seorang tokoh yang dikuasai atau yang terjajah, keadaan psikologi tokoh setelah dikuasai, dan sebagainya. Karya yang seperti itu merupakan kajian postkolonialisme, yang juga disebut pasca kolonialisme. [2]Tema-tema yang dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan, diantaranya; politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, kesenian etnisitas, bahasa dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di lapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.
Kumpulan cerpen yang diawali dari cerpen yang berjudul Robohnya surau kami sesuai judul dari kumpulan cerpennya juga. Kritik kehidupan yang dilontarkan kepada masyarakat Indonesia agar menjadi manusia yang berguna bagi Tuhannya maupun bagi sesamanya. Hablumminallah dan hablumminannas-nya berjalan bersamaan. Tidak ada yang diutamakan ataupun yang dianak tirikan, keduanya harus berjalan bersamaan. Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali dengan hablumminallah dan hablumminannas, (Q.S al-‘Imron: 112). [3]Mereka yang dimaksud bukanlah kaum muslim namun ahli kitab [4](sebutan dalam Al-Qur'an untuk kaum beragama Nasrani (Kristen) dan Yahudi. Dinamakan demikian karena pada keduanya menurut ajaran Islam, Allah menurunkan Kitab Taurat melalui Nabi Musa dan Injil melalui Nabi Isa).
B.       Pengertian Postkolonialisme
Post yang berarti setelah, disebut juga pasca. [5]Koloni artinya tempat yang dikuasai negara lain. [6]Postkolonialisme merupakan paham setelah penguasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu daerah, pengakhiran jajahan dalam suatu daerah.
Teori Postkolonialisme
Secara etimologi, kolonialisme menurut Oxford English Dicionary (OED), berasal dari bahasa Romawi “colonia” yang berarti “tanah pertanian” atau “pemukiman” dan mengacu kepada orang Romawi yang bermukim di negeri-negeri lain tetapi masih mempertahankan kewarganegaraan mereka, (Suryawan, 2010: 64-65). Pada intinya, kolonialisme merupakan pemukiman dimana bangsa lain melakukan hal dinegara itu dengan tujuan tertentu namun tetap mempertahankan kewarganegaraannya. Yang kemudian mereka membentuk suatu kelompok untuk mencapai tujuan itu, tujuan dimaksudkan berupa tindakan yang menghasilkan keuntungan bagi bangsanya dengan subjek orang-orang pribumi itu. Dengan demikian, kolonialisme bisa didefinisikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain, (Loomba, 2003: 1-3)[7].
Tentunya sistem kolonialisme zaman dahulu dan kolonialisme zaman modern itu berbeda. Kolonialisme zaman modern ditandai dengan adanya; a) daerah koloni tidak hanya membayar upeti, namun struktur perekonomian mereka juga dirubah untuk kepentingan negara induk. b) masyarakat daerah koloni menjadi konsumtif, karena wilayah mereka diubah menjadi pasar, dan mengonsumsi produk negara induk. Dalam kolonialisme modern ini, keuntungan akan selalu mengalir pada negara induk. Sehingga dalam sistem ekonomi yang seperti inilah menjadikan kapitalisme dan industri Eropa berkembang di daerah koloni, (Sutrisno dan Putranto, ed, 2004: 9-10).
Kolonialisme modern ini, bukan hanya sekedar ilustrasi historis, namun merupakan satu bentuk titik awal historis yang krusial dimana kekuasaan mengubah segalanya, (Gandi 2001: 20-21). Dan mengakibatkan masyarakat daerah koloni kehilangan akan prinsip hidup daerahnya, kebudayaan, serta kebiasaannya. Untuk masyarakat yang mampu mengatasinya dan siap dalam segala rintangan yang ada maka tidak akan ada masalah dalam psikologi atau kondisi kejiwaan mereka, dibandingkan orang-orang yang belum siap dan menjadi tertekan. Hal itu, akan terjadi terutama pada kondisi kejiwaan si anak yang belum bisa berpikir sejauh itu.
Istilah postkolonialisme kurang tepat seharusnya, terutama untuk negara kita. Negara ini masih dijajah oleh Negara lain, bahkan masyarakat kita tidak menyadari akan hal itu. Mungkin saya juga tergolong salah satu orangnya, dimana tidak, apakah kita sadar sesungguhnya kita hidup dilingkungan kita saja terkadang malu dalam menggunakan bahasa ibu kita, kita juga sering minder jika teman kita menggunnakan bahasa asing dalam berkomunikasi, selain itu kita akan menjadi bangga jika pasangan kita berasal dari orang-orang negara lain itu. Ini masih hal kecil bagian dari jajahan Negara lain kepada masyarakat kita. Sehingga sebuah kritik lainnya terhadap teori postkolonialisme adalah perspektif yang menhubungkan semua kondisi yang ada pada masa pascakolonial sebagai akibat dari sejarah kolonialis.
Studi postkolonialisme bukanlah mempersoalkan “apa yang terjadi dalam sejarah kolonialisme”. Akan tetapi lebih fokus pada apa yang terjadi setelah adanya penguasa kolonialisme keluar dari bumi pertiwi, dan apa yang terjadi kemudian dalam era prakolonialisme. Kolonialisme tidak hadir dengan sendirinya, tetapi ada yang dihadirkan. Masa lalu bisa berarti jika ada yang membutuhkannya, ketika ada yang berkepentingan dengannya, misalnya kekuatan “masa kini” kolonialisme, maka ia pun diciptakannya. “Diciptakan” adalah bahasa lain dari “memberi tafsiran dan makna baru, sekaligus kuasa dan otoritas baru pula”, (Baso, 2005: 48-49)[8].
Model berpikir teori postkolonial (untuk membongkar praktik orientalis dan kolonial) sering disebut sebagai model berpikir dualis. Pada teori postkolonial ada beberapa istilah atau konsep yang sering dikontraskan satu dengan yang lain, misalnya Timur (Orientalisme) versus Barat (Oksidentalisme), penjajah versus terjajah, self versus the other, pengamat versus yang diamati, kesamaan versus perbedaan, atau objektivitas versus subjektivitas. Pada oposisi biner ini menempatkan kedudukan Barat yang lebih unggul dibandingkan dengan kedudukan Timur. Dalam pandangan orang Barat modern ada identitas mereka yang berbeda dari identitas orang Timur yang dilihat irasional, emosional, kekanak-kanakan, jahat, dan lain-lain, (Lubis, 2006: 207-209)[9].
Berbeda lagi yang dilakukan Pamella Alen (2004) yang memfokuskan pada dua penanda postkolonialisme dalam mengkaji sebuah karya sastra, yakni tempat dan pemindahan, dan dekonstruksi sejarah nasional. Pembacaan pascakolonial menggunakan tuntutan Brydon bahwa kritik kolonial seharusnya dipahami sebagai suatu upaya untuk mengungkapkan aspek-aspek dari suatu teks yang sampai sekarang mungkin tetap tersembunyi dan yang mungkin tidak sengaja dimasukkan oleh pengarangnya.
[10]Yang kamudian saya juga menemukan, adanya kupasan menarik oleh Dr. Roeslan Abdulgani tentang pancasila yang sangat berwatak anti kolonialisme. Sedangkan perlakuan terhadap masyarakat sekarang ini jelas-jelas mirip dengan tindakan kolonialisme dulu. Jadi yang anti kolonialisme itu siapa? Karena logikanya: PANCASILA = ANTI KOLONIAL; berarti KOLONIAL = ANTI-PANCASILA Gamblang sekali bukan?
Untuk memahami kolonialisme itu, mari kita simak lagi tulisan Dr. Ruslan Abdulgani tentang hakekat kolonialisme itu adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lainnya di bidang politik sosial-ekonomi dan kebudayaan dengan jalan:
a.      Dominasi politik,
Keseluruhan hal yang mengenai pemerintahan selalu didominasi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan tentunya. Bahkan dalam hal pemilu saja pegawai negeri dan masyarakat umum terintimidasi dalam pemilu semu. Hal itu juga terjadi ketika pemilihan DPR/MPR yang kita hanya bisa melihat dengan ketidakberdayaan.
Seperti kumpulan cerpen robohnya surau kami ini, dalam pemilihan judul kumcernya. Jika dilihat dari judul cerpen lainnya yang paling menarik minat baca seseorang adalah cerpen robohnya surau kami, karena dari judul itu pembeli maupun pembaca akan memikirkan; bagaimana ceritanya? Sebuah hal yang menarik jika suatu surau yang telah roboh, apakah akibat bencana atau itu merupakan kiasan betapa kita sebagai umat sudah tidak tahu lagi apa yang harus kita lakukan di dunia ini. Sehingga kita akan menjadi umat yang dicintai oleh Tuhannya, makhluk yang membuktikan kepada makhluk hidup lain sesungguhnya manusia memiliki akal dan hati. Sekarang ini, hal itu sulit didapatkan, karena kita hanya memikirkan diri kita dan kedudukan kita dimasyarakat agar dipandang baik. Namun tidak melihat dikanan-kiri kita masih banyak orang-orang yang belum beruntung seperti kita ini.
b.      Eksploitasi ekonomi,
Hal ini sampai sekarang terus berkembang dimasyarakat. Dimana yang kaya selalu memiliki hak untuk menyuruh-nyuruh tanpa memberikan pegawai untuk berbicara dan mengambil hak mereka. Petani atau buruh petani pun akan selalu menderita dan akan selamanya miskin (tidak tercukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup) sangat berbeda dengan para tengkulak maupun bos-bos yang ada diatas sana.
Pada cerpen “pada pembotakan terakhir”, digambarkan oleh gadis kecil Maria yang selalu menjajahkan jajan Mak Pasah dan jika jajan itu tidak terjual habis atau jika Maria lalai dalam tugasnya ia akan disiksa olehnya. Diapun tidak mendapatkan haknya sebagai anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan serta bermain dengan teman sebayanya. Dalam hidupnya Maria tidak mendapatkan kehidupan selayaknya anak kecil, sampai ia meninggal karena disiksa Mak Pasah yang kejam. Tanpa bersalah malah Mak Pasah mengangkat anak baru untuk menjajakan kuenya.
c.       Penetrasi kebudayaan,
Sesungguhnya bangsa kita bukanlah bangsa yang cemen, yang hanya mementingkan kekayaan dan kedudukan. Bangsa kita bukanlah bangsa yang takut, kita memiliki orang-orang yang pemberani, lugas tanpa tendang aling-aling. Itu hanyalah omongan orang-orang yang iri terhadap bangsa kita yang memiliki segalanya dan telah diberikan kekayaan yang luar biasa oleh Tuhan. [11]Kita ini telah dicekoki falsafah yang seolah sangat luhur: ‘Jer basuki mawa bea’, tiap pembangunan perlu pengorbanan. Hal itu merupakan budaya kolonial yang dilestarikan oleh penguasa karena memang menunjang status quo-nya.
Hal ini terjadi pada cerpen “anak kebanggaan”, dimana seorang ayah yang membanggakan anaknya dan mengharapkan sebuah pangkat yang tinggi kepada anaknya. Dia selalu menghayalkan jika anaknya menjadi sosok yang bisa membantu tetangganya. Misalnya jika ada orang membangun sebuah gedung maka ia pun berpikir, “andai saja anakku yang menjadi arsiteknya pasti bangunan ini akan bagus dan kuat”, dan “jika seseorang yang meninggal karena sakit sehingga ia juga berpikir andai saja anakku sudah sarjana kedokteran pasti ia akan terselamatkan”.
Seorang ayah yang belum mengerti kondisi anaknya dan menginginkan anaknya menjadi sosok yang lebih baik dan terpandang sehingga membuat anak berbohong, sebaliknya karena ingin anaknya bahagia dan bangga akan dirinya membuat ayah juga melakukan kebohongan. Dari salah satu cerpen ini, telah menyadarkan kepada kita akan sebuah kejujuran, dan kebanggaan apa yang telah kita dapatkan selama ini tanpa mendengarkan perkataan orang lain selagi kita tidak merugikan orang lain. Buat apa memiliki kondisi yang baik dan membuat orang menyanjung kita, yang berujung pada kebohongan belaka. Tidak akan memberi citra yang baik malah sebaliknya kita memberikan nama yang buruk kepada nama atau keluarga kita sendiri.

C.      Analisa tentang Cover Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami
[12]Pertama kali diterbitkan, cover dengan ilustrasi seorang laki-laki memegang senjata dan dibelakangnya ada ukiran khas daerah. dahulu). Dengan warna abu-abu (kelabu) yang menggambarkan masa-masa silam sekitar tahun 1980-an. Selain warna abu-abu juga menunjukkan kebebasan dan memiliki kecenderungan netral.


Cover ini mungkin cetakan berikutnya, dimana saya kurang memahami akan ilustrasi yang diberikan pada cover ini.
      


Ini terbitan kedua belas [13]tahun 2006. Dengan warna cover putih yang identik dengan kesucian yang mewakili surau pada cerita. Dan gambar seperti rumah dengan bayangan berwarna abu-abu.

Terbitan keenam belas tahun 2010. Dengan ilustrasi surau serta hiasan tanaman yang menunjukkan keindahan.

Dari keempat cover kumpulan cerpen robohnya surau kami ini, menunnjukkan kepada pembaca akan sebuah kehidupan yang tak selamanya sama. Perubahan pasti terjadi, menjadi lebih baik, tetap, atau bahkan menurun. Suatu hal yang pasti, untuk selalu berpikir yang baik, yakin bisa mencapai yang kita inginkan, menolong kepada sesama (peduli), itu juga bagian dari ibadah kepada-Nya. Sebuah pengorbanan yang kita hadapi dengan keikhlasan dan kesabaran maka tidak akan ada yang sulit dan memberatkan hidup ini. Sebaliknya, kecerobohan dan sikap ragu-ragu itu akan mempersulit jalan kita menuju kebaikan.
Ke-eksotisan cerita ini, dari pengungkapan cerita yang diberikan. Berbagai kritik akan kehidupan yang sekarang ini, dan ketidak sadaran kita dalam menjaga kepemilikan kita. Cerita yang sudah akrab ditelinga kita dan banyak kita jumpai. Setelah membaca karya ini, menyadari akan kejadian-kejadian yang saya alami selama dibangku perkuliahan ini. Suatu hal yang menakjubkan, dimana kuasa ada dimana-mana dan bahkan dimata kita pun ada.
Apa yang kita lakukan sesuai dengan apa kata orangtua, tidak berani membantah. Jika membantah “ga’ ilok” (tidak baik, yang berakibat dosa karena telah membantah perintah orangtua) sering muncul ditelinga kita. Ketika didunia baru, kita akan mendapatkan suatu wejangan dari berbagai pihak. Dan pasti secara tidak langsung dan tidak kita sadari hal itu akan kita lakukan, kita baru menyadari setelah kita sharing dengan teman-teman. Itu semua terjadi karena adanya tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak tersebut.

D.      Analisa Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami
Kumpulan cerpen robohnya surau kami memberikan pandangan akan kehidupan yang penuh dengan peristiwa yang harus kita hadapi. Berbagai rintangan dari segi manapun harus kita hadapi dengan keyakinan selagi kebenaran itu kita pegang, pada diri kita masing-masing. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mengkaji kumpulan cerpen karya A.A Navis ini. Selain itu relasi kuasa dan tema lainnya dihadirkan, sehingga terlihat dalam setiap cerpen yang ada, diantaranya:
1) Robohnya surau kami; seorang kakek dengan keyakinannya, karena sudah tua ia memilih untuk beribadah dan tidak memikirkan yang lainnya. Dan diakhir cerita keimanan kakek pun hancur dikarenakan mengakhiri hidupnya dengan pencukur setelah mendengarkan cerita Ajo Sidi. Seorang tua yang seharusnya sudah tahu akan hal itu, karena pengalamannya yang sudah banyak (sudah makan asam garam) namun begitu jatuh setelah mendengar hal itu dari seorang pemuda tentang kehidupan seseorang yang telah diletakkan di neraka kemudian mengadakan dialog dengan Tuhan.
2) Anak kebanggaan; keinginan seorang ayah yang terlalu besar tanpa memperhatikan kemampuan anaknya sehingga kebohongan diantara keduanya pun terjadi, dan ayahnya meninggal dengan menciumi telegram dari sang anak. Disini menandakan kehidupan kita saat ini yang hanya mementingkan kedudukan dan pandangan oranglain terhadap kita, tanpa memikirkan dampaknya. Kehidupan yang sederhana, dengan kecerdasan dan pemikiran yang mantang serta tindakan yang tidak gegabah dan sesuai dengan apa yang ada pada bangsa kita (kebudayaan kita sendiri) inilah yang membuat kita disenangi orang dan dihormati orang, tanpa kita memperlihatkan siapa kita sebenarnya.
3) Nasihat-nasihat; seorang tokoh perempuan pengikat hati laki-laki (Hasibuan), setelah bertemu di bus perempuan itu tidak mau meninggalkan Hasibuan sehingga Hasibuan menitipkannya dirumah kenalannya. Sampai keluarga si perempuan itu mengunjungi keduanya dan meminta Hasibuan untuk menikahi anaknya itu. Tanpa meminta pertimbangan dengan orangtuanya Hasibuan menyetujui hal itu, ternyata Hasibuan diam-diam menyukai perempuan itu. Berakibat, ketersinggungan orangtua yang merasa dilangkahi oleh Hasibuan dan tidak berkata apapun orangtua itu langsung masuk kamar.
Dalam hal ini, kejujuran itu menjadi penting dan harus ditanamkan pada diri sendiri, karena sesungguhnya itu menyangkut kehidupan bukan hanya saat itu namun seterusnya. Sebagai anak kita juga harus menyadari hak dan kewajiban orangtua terhadap anaknya. jangan hanya mengandalkan simpati sendiri sehingga melupakan dan tidak meminta nasihat kepada orangtua dan baru meminta itu ketika kalian telah melakukan hal itu. Sungguh kalau itu terjadi maka kecewa dan penyesalan akan datang bersama kalian.
4) Topi Helm; sebuah topi yang dianggap pemiliknya sebagai pelindung sehingga ia selalu menjaga topi helm tersebut. Topi itu selalu melindunginya dari panas, hujan, dan terpaan angin yang mengenai kepalanya. Suatu ketika masinis kereta digerbong itu marah karena sang pemilik topi (Pak Kari) rela melompat dan meninggalkan gerbong, karena topi helmnya terbang dibawa angin. Padahal pantangan untuk tukang rem meninggalkan gerbong kereta.
Peraturan yang dibuat sesungguhnya memang untuk dipatuhi agar tidak terjadi pelanggaran dan keburukan disuatu wilayah. Namun sebuah peraturan seharusnya tidak dibuat sendiri dan tidak ada tujuan pribadi didalamnya. Apakah hanya karena meninggalkan gerbong kita harus berakhir dengan sebuah kematian? Sungguh mereka itu hanya berpikir keuntungan mereka saja, dan tidak berpikir akan kesusahan oranglain.
5) Datangnya dan perginya; pengorbanan yang dilakukan orangtua meskipun berakibat dosa demi kebahagiaan anaknya mereka rela. Sang ayah yang merasa bersalah karena telah merenggut kebahagiaan dimasa kecilnya dengan mengusir anaknya sendiri sehingga mau melakukan itu, yang awalnya ia tidak mau karena dosa. Namun mantan istrinya tetap mempertahankan rahasia itu karena tidak mau anaknya sedih dan memiliki nasib yang sama dengannya, sehingga ayah pun juga melakukan kebohongan itu.
Tidak akan ada sesuatu yang kekal untuk menjadi milik kita, bahkan kemungkinan sesuatu itu tidak akan pernah menjadi milik kita meskipun kita menyukai dan mengagumi hal itu. Namun kepastian yang terjadi adalah pasti ada hal yang lebih baik yang akan datang nantinya.
6) Pada pembotakan terakhir; seorang anak yang setiap tahunnya harus dibotak rambutnya untuk menghilangkan nasib jelek. Dan seorang gadis kecil yang direnggut masa kecilnya oleh Mak Pasah serta tidak mendapat pendidikan semestinya anak-anak yang lain. Ia bahkan mendapatkan cacian dan siksaan jika tidak mematuhi perintah Mak Pasah. Tokoh aku yang mendapat keyakinan dari ibunya, agar dia tidak menjadi anak nakal supaya ibunya tidak meninggal dan ia tidak mendapat ibu tiri kemudian disiksa seperti gadis kecil itu (Maria namanya). Sedangkan, Maria yang harus menuruti semua perintah Mak Pasah, jika lalai dan lengah terhadap tugasnya ia akan mendapat cacian dan siksaan oleh Mak Pasah, hingga ia meninggal karena siksaan Mak Pasah.
Setiap orang memiliki hak yang tidak harus dikekang oranglain termasuk orangtua kita. Kebiasaan yang berdampak baik maka lakukan kalau tidak jangan dijalankan. Kita boleh membela diri dan meminta hak kita pada orangtua namun juga ada batasnya, misalnya cara kita berkomunikasi dengan orangtua, hal ini merupakan hal yang sederhana kelihatannya tetapi tidak pada prakteknya. Sebagai orangtua juga seharusnya tahu hak dan kewajiban anaknya, meskipun orangtua angkat. Jangan hanya kerena bukan anak kandung sehingga diacuhkan. Jika ada niatan untuk mengangkat anak, lakukan dengan baik, didik dan bekali kebaikan kepadanya. Sungguh kebahagiaan akan datang melalui dia juga.
7) Angin dari gunung; teman kecil, yang berjumpa kembali dibukit gunung dengan mengingat masa kecilnya, kemudian si perempuan bercerita tentang pengalamannya selama menjadi prajurit saat perang. Keantusiasannya dalam menolong dan membuat korban-korban perang itu bahagia, sehingga ia berpikir untuk memiliki tangan sebanyak jumlah jari. Namun ia sadar bahwa sesuatu tidak akan kekal, pasti akan mengalami kesudahan.
8) Menanti kelahiran; keyakinan yang dilakukan oleh masyarakat selama ini telah melekat dipikiran Lena. ia tak mau memiliki anak yang tidak lahir sempurna, sehingga ia pun terpaksa melakukan hal-hal yang bisa menjauhkannya dari suatu keburukan. Namun Lena juga tidak hati-hati, ia tidak berpikir ulang ketika kejadian yang telah dialami sebelumnya. Ia pun tertipu kembali semua perhiasannya habis diambil pembantunya. Kita tidak harus berpikir buruk pada setiap orang tetapi sikap hati-hati perlu kita tanamkan. Tidak semua orang memiliki hati yang baik dan peduli kepada kita, untuk itu kita harus pintar dalam bergaul.
Menolong itu diharuskan, karena pada hakikatnya kita adalah makhluk sosial yang tidak akan lepas dari pertolongan orang lain. Namun perlu sikap hati-hati dalam hal ini, tidak semua orang memiliki sikap yang baik dan sebaliknya tidak semua orang memiliki sikap yang buruk. Semua hal yang kita lakukan berdasarkan keadaan saat ini, namun tidak lantas kita bersikap merugikan orang lain meskipun disaat kita kekurangan.
9) Penolong; Sidin, tokoh penolong dalam sebuah peristiwa kecelakaan kereta. Ia menolong korban tanpa melihat siapa korban yang ditolongnya itu. Kegigihannya sebagai penolong pada peristiwa itu membuat ia dianggap gila ketika mulai menyesal tidak bisa menolong gadis kecil, sehingga gadis itu dipotong kakinya oleh orang gila.
Hidup sudah membolak-balikkan pikiran. Sesuatu yang baik dianggap aneh, dan sesuatu yang buruk dianggap baik sehingga tidak ada tindakan untuk menyikapi keburukan itu. Hal inilah, yang membuat orang lebih memilih melakukan keburukan yang sudah ia ketahui namun tanpa merasa bersalah dan dengan tawanya ia merasa bangga dengan hasil yang ia peroleh meskipun itu merugikan orang lain.
10) Dari masa ke masa; kesuksesan seseorang tidak mungkin didapatkannya sendiri, pasti ada orang lain dibelakangnya. Kesuksesan seseorang berkat orang lain ini, biasanya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Nasihat orang tua itu sangat penting, yang menjadi keharusan dalam melakukan sesuatu. Nasihat ini bukanlah sekedar nasihat, namun juga bagian dari meminta izin agar dikemudian hari tidak terjadi kesalahan. Dalam cerita ini, pendongkol yang selalu berpikir bahwa buat apa kita harus meminta nasihat para tetua. Terkadang hal-hal yang tidak penting pun disampaikan dan kenapa itu tidak terjadi pada orang-orang yang ikut perang.
Disinilah politik kuasa dimanfaatkan oleh para penguasa. Memerintah seenaknya bahkan tidak pernah berpikir kerugian apa yang akan didapatkan anggotanya. Bahkan sekarang ini tidak hanya terjadi didunia organisasi maupun pemerintah, namun juga pekerjaan, kelas, lingkungan, dan lain-lain. Sehingga semua orang memperebutkan kedudukan yang dianggap terpandang. Kesalahan kita sebagai rakyat kecil yang hanya bisa mengelus dada dan tidak berani mengutarakannya. Membuat para pembesar meraja lela, sekali ada yang berani namun dengan diberi suapan uang ia akan diam. Itulah moral masyarakat kita sekarang ini, yang perlu diperbaiki.







KESIMPULAN
Sebuah karya sastra akan menjadi motivator buat pembacanya, dan pembaca akan memiliki pemikiran terhadap amanah yang diberikan. Kumpulan cerpen A.A Navis memberikan pandangan hidup kepada pembaca termasuk saya. Kritik kehidupan akan keadaan kita selama ini sebagai penduduk negara ini. Dengan kesederhanaan cerita yang diberikan namun memberi kedalaman makna yang akan didapatkan. Pernahkah kita berpikir, setelah kita dilahirkan sampai saat ini menginjak dewasa, pernahkah kita melakukan hal yang bermanfaat untuk orang lain dengan tidak melupakan kewajiban sebagai umat atau sebaliknya. Bentuk kemanusiaan, yang juga disebut hablumminannas kita sekarang ini amat salah, misalnya dalam kuliah ketika masuk kelas maupun ujian. Ketika masuk kelas, jika teman kita minta absen (TA) pasti kita meng-iya-kan permintaan tolongnya, karena dikala kita butuh TA nanti pasti mereka juga mempertimbangkannya. Dan yang membuat anak-anak saat ini malas untuk belajar adalah ia akan berpikir bahwa ia ada teman yang akan membantunya, sikap menggantungkan ini yang akan menjerumuskan. Itu adalah hal besar jika kita nyontek, ngrepek, dan memberikan contekan kepada teman, seharusnya bukan seperti itu akan tetapi dengan kita belajar sebelum hari ujian jika ada yang kurang mengerti, buatlah kelompok diskusi dengan teman-teman atau dengan bertanya kepada dosen.
Dari sepuluh cerpen yang ada juga menggambarkan keadaan bangsa ini. Dimana hak masyarakat yang tidak pernah terlaksana, serta kewajiban mereka yang juga kurang dijalankan. Mereka dikungkung oleh keyakinan, kebiasaan (adat), orangtua, tanggungjawab, dan simpati. Karena mereka mengharapkan penghormatan dan pengakuan semata dari oranglain dan yang utama dari Tuhan Yang Maha Esa. Pemikiran kita yang hanya menginginkan suatu yang instan dan membuat kita mau melakukan apapun untuk mendapatkan itu. Rasa tidak memiliki pada diri kita membuat kita enggan menjaga dan merawatnya. Robohnya surau kami, kumpulan cerpen yang telah memberikan kesadaran kepada kita sebagai masyarakat dan sekaligus sebagai umat yang seharusnya intropeksi diri akan apa yang telah dilakukan selama hidup ini.


DAFTAR PUSTAKA

Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi: [Re]interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Magelang: Indonesia Tera.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahli_Kitab, (diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
Asin. 2012. Hablumminallah wa hablumminannas mengaji bersama ustadz kerah sakti. (online), http://myaasin.wordpress.com/2009/09/30/hablumminallah-wa-hablumminannas-mengaji-bersama-ustadz-kerah-sakti/, (diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
id.wikipedia.org/wiki/Koloni, (diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
Navis, A.A. 2010. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia, (Cetakan pertama 1986).
Nyoman Kutha Ratna.2008. “Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra”. Pustaka Pelajar. Peresensi: M. Nurul Ikhsan, (http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=Popular&topik=10&id=145, diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
Purba, Arnold. 2003. Biarkan Rakyat Bicara: Tangan Besi Merampas Tanah Kami. Jakarta: Yayasan 5 Agustus.
Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.
Suryawan, I Ngurah. 2010. Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara. Jakarta: Kencana.


[1] Diskusi mata pelajaran Etika dan Estetika. Sastra Indonesia. Semester Genap. 2012. 15 Juni 2012.
[2] Nyoman Kutha Ratna.2008. “Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra”. Pustaka Pelajar. Peresensi: M. Nurul Ikhsan, (http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=Popular&topik=10&id=145, diakses pada tanggal 18 Juni 2012).
[3] http://myaasin.wordpress.com/2009/09/30/hablumminallah-wa-hablumminannas-mengaji-bersama-ustadz-kerah-sakti/.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahli_Kitab.
[5] id.wikipedia.org/wiki/Koloni.
[6] PPT yang disampaikan oleh dosen pada mata kuliah teori sastra II materi postkolonialisme.
[7] Suryawan, I Ngurah. “Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern-Bara di Bali Utara” (Jakarta: Prenada Media Group, 2010). halaman 65.
[8] Suryawan, I Ngurah. “Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern-Bara di Bali Utara” (Jakarta: Prenada Media Group, 2010). halaman 72-73.
[9] Suryawan, I Ngurah. “Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern-Bara di Bali Utara” (Jakarta: Prenada Media Group, 2010). halaman 73.
[10] Purba, Arnold. “Biarkan Rakyat Bicara: Tangan Besi Merampas Tanah Kami”. (Jakarta: Yayasan 5 Agustus, 2003). halaman 14-17.
[11] Purba, Arnold. “Biarkan Rakyat Bicara: Tangan Besi Merampas Tanah Kami”. (Jakarta: Yayasan 5 Agustus, 2003). halaman 16-17.
[12] http://sudahkahkaubaca.multiply.com/journal/item/24/Membaca-Kegelisahan-A.A.-Navis
[13] http://sudahkahkaubaca.multiply.com/journal/item/24/Membaca-Kegelisahan-A.A.-Navis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar